INTERAKSI OBAT (DRUG INTERACTION)
A. INTERAKSI OBAT DENGAN OBAT
LAIN.
Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan effek yang menguntungkan tetapi sebaliknya juga dapat menimbulkan effek yang merugikan atau membahayakan.
Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan effek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan “ Polypharmacy “ atau “ Multiple Drug Therapy “.
Sudah kita maklumi bersama bahwa biasanya penderita menerima resep dari dokter yang memuat lebih dari dua macam obat. Belum lagi kebiasaan penderita yang pergi berobat ke beberapa dokter untuk penyakit yang sama dan mendapat resep obat yang baru. Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat adalah akibat kebiasaan beberapa penderita untuk mengobati diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli di toko-toko obat secara bebas.
Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah bila kita mempunyai pengetahuan farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada orang penderita yang menerima pengobatan polypharmacy cukup banyak.
Mekanisme interaksi obat bermacam-macam dan kompleks. Pada dasarnya dapat digolongkan sebagai berikut:
I. INTERAKSI FARMASETIK
Interaksi ini adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan / disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita.
Misalnya interaksi antara obat dan larutan infus IV yang dicampur bersamaan dapat menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan.
Bentuk interaksi ini ada 2 macam :
Interaksi secara fisik : misalnya terjadi perubahan kelarutan
Interaksi secara khemis : misalnya terjadi reaksi satu dengan yang lain atau terhidrolisisnya suatu obat selama dalam proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan.
II. INTERAKSI FARMAKOKINETIKA
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi, metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain. Dalam kelompok ini termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi dihalangi atau dipercepat.
III. INTERAKSI FARMAKODINAMIK.
Interaksi ini terjadi bila sesuatu obat secara langsung merubah aksi molekuler atau kerja fisiologis obat lain. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi :
a.Obat-obat tersebut menghasilkan kerja yang sama pada satu organ (sinergisme).
b.Obat-obat tersebut kerjanya saling bertentangan ( antagonisme ).
c.Obat-obat tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah
Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan effek yang menguntungkan tetapi sebaliknya juga dapat menimbulkan effek yang merugikan atau membahayakan.
Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan effek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan “ Polypharmacy “ atau “ Multiple Drug Therapy “.
Sudah kita maklumi bersama bahwa biasanya penderita menerima resep dari dokter yang memuat lebih dari dua macam obat. Belum lagi kebiasaan penderita yang pergi berobat ke beberapa dokter untuk penyakit yang sama dan mendapat resep obat yang baru. Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat adalah akibat kebiasaan beberapa penderita untuk mengobati diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli di toko-toko obat secara bebas.
Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah bila kita mempunyai pengetahuan farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada orang penderita yang menerima pengobatan polypharmacy cukup banyak.
Mekanisme interaksi obat bermacam-macam dan kompleks. Pada dasarnya dapat digolongkan sebagai berikut:
I. INTERAKSI FARMASETIK
Interaksi ini adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan / disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita.
Misalnya interaksi antara obat dan larutan infus IV yang dicampur bersamaan dapat menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan.
Bentuk interaksi ini ada 2 macam :
Interaksi secara fisik : misalnya terjadi perubahan kelarutan
Interaksi secara khemis : misalnya terjadi reaksi satu dengan yang lain atau terhidrolisisnya suatu obat selama dalam proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan.
II. INTERAKSI FARMAKOKINETIKA
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi, metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain. Dalam kelompok ini termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi dihalangi atau dipercepat.
III. INTERAKSI FARMAKODINAMIK.
Interaksi ini terjadi bila sesuatu obat secara langsung merubah aksi molekuler atau kerja fisiologis obat lain. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi :
a.Obat-obat tersebut menghasilkan kerja yang sama pada satu organ (sinergisme).
b.Obat-obat tersebut kerjanya saling bertentangan ( antagonisme ).
c.Obat-obat tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah
ASMA
Kata asma berasal
dari bahasa Yunani “asthma” yang berarti sukar bernafas. Asma termasuk
salah satu penyakit yang memiliki angka kejadian yang relatif tinggi di
Indonesia. Oleh karena itu, kata ”asma” tentu sudah tidak terdengar asing lagi
bagi sebagian besar masyarakat. Penyakit asma bisa bisa muncul kapan saja dan
bisa diderita oleh siapa saja tanpa pandang bulu, mulai dari anak-anak sampai
orang dewasa, baik wanita maupun laki-laki. Saat kambuh, panderita akan
mengalami sesak nafas sehingga aktivitas sehari-hari, seperti sekolah maupun
kerja, bisa terganggu. Selain mengganggu aktivitas, penyakit ini bahkan bisa
menyebabkan kematian bila tidak ditangani secara cepat dan tepat. Namun jika
penyakit ini dikendalikan, kematian dapat dicegah dan penderita asma tak perlu
mengalami serangan lagi atau gejalanya berkurang. Untuk dapat mengetahui
bagaimana cara pencegahan dan pengobatan yang tepat untuk asma, maka penderita
perlu mengenal lebih jauh tentang asma terlebih dahulu.
Asma adalah penyakit yang
disebabkan karena adanya inflamasi (peradangan) kronis pada saluran pernafasan,
yang belum diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor yang dapat
memicu terjadinya asma antara lain adalah: infeksi saluran pernafasan, alergen
(debu, bulu hewan, serbuk sari, dll), kondisi lingkungan (udara dingin, asap
rokok), stress, olahraga berat, obat (aspirin, NSAIDs, β-blocker). Adanya
peradangan membuat saluran pernafasan menjadi sangat sensitif terhadap
rangsangan dan mudah mengalami penyempitan. Penyempitan ini menyebabkan
udara yang masuk dan keluar saluran pernafasan terhalang sehingga penderita menjadi
sesak. Selain itu, serangan asma juga sering disertai dengan serangan batuk,
nafas pendek, rasa sesak di dada. Pada asma yang sudah parah biasanya juga
ditandai dengan wheezing atau “mengi”, terutama pada malam hari. Penyempitan
saluran nafas pada asma bersifat reversible dan serangan biasanya berlangsung
beberapa menit sampai beberapa jam.
Kelainan utama penyakit asma
adalah peradangan saluran nafas, sehingga pengelolaan/pengobatannya bukan hanya
ditujukan untuk menghilangkan gejala sesak nafas semata, tetapi juga berbagai
tujuan berikut yaitu, agar penderita mempunyai fungsi paru mendekati normal dan
gejala asmanya menghilang atau minimal. Tujuan lainnya adalah agar serangan
asma minimal, pemakaian obat untuk serangan sesak berkurang, dan tidak ditemukan
efek samping obat.
Secara umum, ada 2 cara untuk
mengatasi asma yaitu dengan terapi non-farmakologis (tanpa obat) dan terapi
farmakologis (dengan obat). Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan
menghindari faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan asma serta dengan
melakukan olahraga ringan seperti renang.
Adapun untuk terapi farmakologis,
ada dua jenis obat yang biasa digunakan yaitu quick-relief dan long-term
control. Kedua jenis obat tersebut memiliki cara kerja yang berbeda.
Obat-obat quick-relief, misal bronkodilator, bekerja dengan merelaksasi
otot-otot di saluran nafas sehingga saluran nafas yang semula menyempit akan
melebar kembali dan penderita mampu bernafas dengan lega. Dengan demikian,
obat-obat ini lebih efektif digunakan saat serangan asma terjadi. Adapun
obat-obat long-term relievers digunakan untuk mencegah timbulnya
serangan asma dengan mengatasi peradangan di saluran pernafasan agar tidak
semakin memburuk, antara lain dengan mengurangi udem. Contoh obat yang termasuk
long-term relievers ini adalah kortikosteroid.
Terapi
Farmakologi Asma
1.
Short term relievers (pereda jangka pendek)
Contoh: Bronkodilator
• B2 agonist (terbutalin, salbutamol,
eformeterol)
• Metil xantin (teofilin, aminofilin)
• Antikolinergik (atropin,ipatropium klorida)
2. Long term
controlless (pengontrol jangka panjang)
Contoh :
• Steroid (Beklometason, budesonid, flutikason, prednison)
• Nonsteroid (sodium kromogilat, nedokromil sodium)
3. Obat-obat lain
Contoh :
• Antihistamin (ketotipen, tiazinamium)
• Ekspektoran dan mukolitik (ambroksol, kalium iodide)
B2agonist
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara
tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme
adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor
adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik
menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan
menyebabkan bronkodilatasi
Metil
xantin
Ada dua
mekanisme yang diperkirakan terjadi. Mekanisme pertama adalah pada konsentrasi
tinggi, obat ini dibuktikan dapat menghambat fosfodiesterase invitro. Enzim
tersebut menghidrolisis cyclic nucleotide sehingga menghasilkan peningkatan
konsentrasi cAMP intraseluler. Efek tersebut dapat menjelaskan terjadinya
stimulasi kardiak dan relaksasi otot polos yang disebabkan oleh obat tersebut.
Mekanisme kerja lainnya yaitu terjadinya hambatan pada reseptor permukaan sel
untuk adenosine. Reseptor-reseptor tersebut memodulasi aktivitas adenylyl
cyclace dan adenosine, yang telah terbukti dapat menyebabkan kontraksi otot
polos, jalan napas terpisah, dan menyebabkan rilis histamine dari sel mast
jalan napas.
antikolinergik
Digunakan untuk pasien yang tidak tahan terhadap
penggunaan agonisr adrenoreseptor dengan mekanisme yang sama. Saraf kolinergik
merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan manusia.
Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui
neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator
inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.
Ipratropium bromide (Atrovent).
Ipratropium memakan waktu lebih lama untuk bekerja dibandingkan dengan beta-2
agonists, dengan keefektifan puncaknya terjadi dua jam setelah masukan dan
bertahan selama enam jam. Anticholinergic agents dapat juga sebagai obat yang
sangat membantu untuk pasien-pasien dengan emphysema.
Golongan steroid
Kortikosteroid menghalangi respon peradangan dan
sangat efektif dalam mengurangi gejala penyakit asma. Jika digunakan dalam
jangka panjang, secara bertahap kortikosteroid akan menyebabkan berkurangnya
kecenderungan terjadinya serangan penyakit asma dengan mengurangi kepekaan
saluran udara terhadap sejumlah rangsangan.
Antihistamin
Obat ini
memblokir reseptor histamine sehingga akan mencegah efek bronkhioli.
Mukolitik dan ekspektoran
Untuk
mengurangi kekentalan dahak, mukolitik untuk merombak mukoprotein dan
ekspektoran untuk mengencerkan dahak sehingga mempermudah pengeluaran dahak.
Tabel
Kerja
|
Golongan obat
|
Obat
|
Intraksi dengan
|
Onset
|
Severity
|
Efek
|
Short Time Relievers
|
Metil xanthin
|
TEOFILIN
|
Acyclovir
|
Delayed
|
Moderate
|
Konsentrasi
TEOFILIN Plasma mungkin meningkat, meningkatkan efek farmakologis dan
merugikan
|
TEOFILIN
|
Allopurinol
|
Delayed
|
Moderate
|
Bersihan TEOFILIN
dapat menurun dengan dosis besar allopurinol (600 mg / hari), mengarah ke
tingkat plasma peningkatan TEOFILIN dan toksisitas mungkin.
|
||
TEOFILIN
|
Barbiturat
|
Delayed
|
Moderate
|
Penurunan level
TEOFILIN, mungkin mengakibatkan efek terapi berkurang.
|
||
TEOFILIN
|
Cimetidine
|
Delayed
|
Moderate
|
Peningkatan level
TEOFILIN beserta efek toksik mungkin muncul
|
||
TEOFILIN
|
Antibiotik
Makrolida (eg, Erythromycin)
|
Delayed
|
Moderate
|
Peningkatan kadar
serum TEOFILIN dengan toksisitas mungkin
terjadi. Penurunan tingkat eritromisin juga terjadi.
|
||
TEOFILIN
|
Loop Diuretik
|
Rapid
|
Minor
|
Aksi
THEOPHYLLINES dapat diubah, disempurnakan, atau dihambat oleh diuretik loop,
|
||
b-2 AGONIST
|
SALBUTAMOL
|
DIGOXIN
|
Level serum
digoxin diturunkan
|
|||
SALBUTAMOL
|
ENFURANE, HALOTHANE
|
Peningkatan
terjadinya resiko Malignant Aritmia
|
||||
SALBUTAMOL
|
Obat Penginduksi
CYP3A4
|
Dapat menurunkan
efek salbutamol
|
||||
SALBUTAMOL
|
BETA BLOCKERS
|
Bronkospasm hebat
|
||||
SALBUTAMOL
|
MAO INHIBITOR
|
Peningkatan efek
kardiovaskular
|
||||
ANTIKOLINERGIK
|
ATROPIN
|
AMANTADINE
|
Delayed
|
Moderate
|
Reaksi samping
antikolinergik dapat ditingkatkan.
|
|
LONG TIME RELIEVERS
|
STEROID
|
PREDNISON
|
Fenitoin,
fenobarbital, efedrin, rifampisin
|
Meningkatkan
bersihan prednison.
|
||
PREDNISON
|
ANTIKOAGULAN
|
Merubah respon
antikoagulan
|
||||
PREDNISON
|
DIURETIK HEMAT
KALSIUM
|
Menyebabkan
hiperkalasemia
|
||||
ANTIHISTAMIN
|
KETOTIFEN
|
Obat penekan
sistem saraf pusat (sedatif, hipnotik, antihistamin, alkohol)
|
Meningkatkan efek
sedatif
|
|||
KETOTIFEN
|
Obat oral Anti
Diabetes
|
Menyebabkan
terjadinya penurunan trombosit, platelet
|
tugas seminar ditulis oleh
-Akhyar nioli
-Difa ananda
-Ronal DJ
-Alex leo
-Betika